Di depan rumah aku menanti kucoba menghabiskan waktu demi waktu. Tak berapa lama kulihat seorang yang kukenal menghampiriku. Otomatis aku menyapanya. “Hai, dia belum datang”. Beberapa saat kemudian aku menunggu sejenak sambil memeriksa isi ransel ku. Setelah dia datang kami bertiga berangkat bersama-sama.
Inilah aku siwa kelas X. Pada hari Senin aku berangkat persis jam 7 kurang 15 menit, itu karena jarak rumah dengan sekolahku yang dekat. Di hari Selasa aku berangkat pula jam 7 kurang 15 menit, begitu juga pada hari Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Sampai di sekolah kulihat taman, teman, ruang kelas, dan orang satu kampus lainnya. Aku biasa berbicara dengan teman satu kelompok denganku. Kadang jika bosan aku hanya melamun di dalam ruang kosongku di mana aku bisa berbuat apapun, berimajinasi. Kutepis ruang kosongku sebab masih banyak hal yang harus dilakukan di ruang kerja ku ini.
Bel pulang berbunyi, aku pun lekas pulang. Kujalani kehidupan di rumah seperti biasa layaknya orang biasa hingga tertidur nanti. Pagi pun tiba, dia yang kukenal datang seperti biasa aku menjawab “dia belum datang ” aku menunggu dan memeriksa isi ranselku ini. Sesaat kemudian dia datang, lalu kami berangkat bertiga bersama-sama.
Setelah kulamunkan aku berpikir bahwa apa ada hal yang lain yang kukerjakan hari ini? Pertama aku menjawab “tidak” jawaban itu didukung oleh alasan yang logis karena hari ini aku tidak melakukan apa-pun yang berbeda dari hari kemarin. Setiap bangun tidur kadang aku merasa malas itu karena aku tidak tahu untuk apa aku bangun.
Seminggu berlangsung tanpa kusadari. Hari berbalik lagi mulai dari Senin lagi sampai akhirnya kucoba tulis pengalamanku dan kucoba memeriksanya, walau aku tidak tahu aku harus memeriksa apa. Aku menemukan hal yang membuatku berpikir yaitu urutan hari pada buku harianku. Mulai muncul pertanyaan dalam diri mengapa nama hari setelah hari ke tujuh selalu kembali pada hari awal seperti kebiasaan sehari-hariku yang selalu sama. Sesaat kesadaranku kacau kulihat sebuah ruang kosong yang dalam dan gelap gulita aku serasa jatuh ke dalamnya.
Aku tidak berpikir apa-apa, lalu aku terbangun di sebuah padang rumput yang luas bahkan aku tidak dapat melihat ujungnya. Aku sempat takut dan bertanya mengapa aku ada di sini sendiri. Lalu, muncullah seorang anak kecil yang berlari, akupun mengejarnya tetapi tak dapat kusamai, entah kenapa sepertinya dia berlari sangat cepat. Napasku terengah engah aku memutuskan untuk berhenti, padahal kukira aku tidak akan sendiri lagi. Udara di sana sangat sejuk, dapat kurasakan kesegarannya. Terlintas dalam pikiranku sepertinya aku pernah ke sini. Lalu seorang tua datang, kulihat berjalan dari ujung padang rumput . Tiba-tiba dia sudah ada dihadapanku. Aku sangat bingung, bagaimana itu mungkin? Dia hanya tersenyum. Walau takut, aku senang karena aku tidak sendiri lagi. Aku pun bertanya kedanya apa anak kecil yang berlari tadi adalah cucunya. Dia hanya tersenyum. Sempat kukira dia bisu sampai dia berkata dengan nada keras namun lembut “Angina.”
“Siapa dia” tanyaku? Dia menjawab “Itu adalah harapanmu, bergitu juga aku, aku muncul karena kamu menginginkan seseorang ada di padang rumput ini bukan”? Dia mengajakku bercakap-cakap sampai akhirnya aku hilang sadar. Aku ingat pesan terakhirnya, dia berkata “Sebelum kamu dapat mencapai harapanmu kamu tidak akan dapat mengejarnya”. Aku kembali sadar dengan buku harian di atas kepalaku. Sesaat mimpi tadi terasa nyata.
Dimensi hidupku kembali berjalan seperti biasa. Suatu hari kucoba pejamkan mata dan kulemaskan semua jaringan tubuhku, sampai otakku tidak dapat memerintah bagian-bagian dari tubuhku ini untuk bergerak. Lalu kuhitung mulai dari 10 sampai 1 dan setiap hitunnganya tidurku akan semakin dalam. Kulakukan itu seperti yang pernah dilakukan oleh anggota hipnoterapi yang pernah mengajariku waktu umurku 14 tahun. Lalu ruang gelap itu muncul, dan sadarku mulai terkoyak. Aku tidak dapat berpikir lagi. Saat itu berlangsung sama, aku tersadar, namun kali ini aku berada di padang pasir gersang. Di sana sangat panas seolah aku ingin terjatuh karena lelah. Lalu kakek itu datang dan mengulurkan tangannya. Dia berkata “Jangan sampai jatuh, pegang tanganku.” Setelah itu aku bangkit. “Mengapa tidak boleh jatuh?” tanyaku. Dia menjawab, “Sebab kamu tidak akan dapat bangkit.” Aku melanjutkan pertanyaanku “Mengapa kamu bisa tahu di mana aku?” Dia tersenyum dan berkata, “Bukankah kamu ingin aku ada di sini?” Lalu dia melanjutkan permbicaraanya, “Ini adalah padang akhir di mana dia yang tidak dapat berdiri akan berakhir. Cobalah pejamkan mata dan pikirkan suatu tempat yang ingin kamu tuju!” Aku memejamkan mata dan berpikir padang rumput di mana aku berada dulu. Tiba-tiba aku dan dia sudah berada di sana. Angina itu datang lagi dan kakek itu berkata, “Tidak usah kamu mengikuti dia!” Saat itu aku baru memutuskan untuk mengejarnya tapi ku batalkan. Dia mengatakan bahwa waktu tidak berputar-putar, dia memberiku nasihat sesaat saat aku berpikir bahwa waktu tidak akan berulang. Akan tetapi, kakek itu menjelaskan lebih rinci bahwa walaupun hari memang berulang tetapi umur/ lama waktu yang telah terjadi tidak akan berulang. Jadi biarpun waktu yang dialami sehari-harimu sama, pasti ada perbedaan. Hal yang sama yang kamu lakukan, hanya kewajiban yang harus dipenuhi sebagai salah satu mahluk hidup. Oleh karena, kamu hidup dalam dunia yang kamu sebut nyata. Akan tetapi, kata nyata hanya sebuah kata sebagai patokan bahwa dapat dirasakan oleh indera. Sebenarnya nyata tergantung pada apa yang kamu anggap nyata.
Kurasakan kembali jari-jariku lalu kuberi kesempatan pada otakku untuk mengatur lagi setiap organ-organku, lalu kuhitung dari 1 sampai 10, dan setiap hitungan sadarku kembali 10 kali lipat sampai aku dapat masuk dunia nyataku tadi.
Seperti apa yang kukatakan pada awal aku juga akan mengatakan pada akhir. Seperti alfa sampai omega perjalananku menyusuri tingkat kehidupan yang kujalani selama lima belas tahun ini belum berakhir. Kucoba terjang dan lupakan setiap batu yang menghambat, sampai seorang teman satu kelompokku mengatakan apa yang sudah biasa kudengar tapi tak dapat kurasakan. Bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan jangan sampai sama dengan hari kemarin sebab kamu akan kekurangan waktu untuk menebusnya. Dengan pandangan matanya, aku sadar dia berkata sungguh sungguh.
Tanganku menulis sendiri tanpa dikontrol oleh otakku, menulis satu kata demi satu kata hingga keberuntungan menyatukan setiap kata menjadi kalimat. Aku berniat akan mengakhirinya tadi. Akan tetapi, aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku tidak akan mengulangi hariku lagi karena umurku tidak akan berulang. Seperti apa yang dikatakan “dia”.
Aku melihat kata-kataku yang ingin kuucapkan dan memilih apa yang harus aku pilih, menulis apa yang harus aku tulis, sebab seperti awal aku pun tidak merasakan akhirnya, karena belum saatnya berakhir.
********************************************
Kini kumulai lagi. Apa kamu tahu apa yang tertulis. Sebab aku tidak memintamu untuk mengetahuinya, kutulis ini hanya untuk kau rasakan. Kulanjutkan ceritaku dengan kupejamkan mataku, dan kutulis di tengah sore dengan hujan yang mengguyur lebat. Kulagukan semua yang kudengar lalu kutulis. Aku tidak akan bilang ku lagi, dalam kalimat ini tetapi, karena “ku” harus kutulis sebab aku tidak mau merintangi kata-kata sulit di tengah serigala lapar. Bacalah dan pejamkan matamu, lalu hitung dari sepuluh hingga satu tanyalah apa kamu memahami apa yang kumaksud! “Ya,” jika itu yang kamu dengar lanjutkanlah, tapi bila “Tidak,….”
Aku dalam tokoh ini terbangun setelah kata “Tidak.” Kini kucoba menyeduh teh hangat saat pagi hari. Akan tetapi, memang kusengaja menyeduh teh untuk tidak mengulang hari Kamis yang sama seperti Kamis minggu lalu. Aku sempat meminjam majalah dari perpustakaan sekolah, walaupun setiap bulan selalu kudapat. Hanya kupinjam majalah cetakan sebelumnya, dengan cover depan judul cerpen yang ada di dalamnya. Apa aku pernah mengatakan cita-citaku? Cita citaku adalah pengarang. Mengapa aku memilih menjadi pengarang, akan kuceritakan pada akhir nanti walau aku takkan tahu kapan.
Setelah kubaca cerpen tersebut, yang pertama muncul dalam otakku adalah mengapa dalam majalah lain tak dimunculkan?. Kucoba dengan hipotesisku sendiri. Mungkinkah cerpen itu bagus sehingga dimuat di halaman terdepan?. Aku masih belum tahu jawabnya bahkan setelah hari ketiga kubaca. Saat membaca cerpen itu sedikit pun tidak kutahu maksudnya , tapi kurasakan nyanyian dari kata-katanya.
Aku mulai malas untuk bercerita. Indahnya mawar pada pagi hari dengan embun sejuk yang menempel, dan kabut putih serta rumput dan tanah yang basah. Kurasakan pagi itu sungguh segar tapi dingin. Itu karena aku biasa bangun siang. “Amyoudu si, sucihi, chi si maosori” entah apa itu kubaca dalam sebuah buku yang tak disebutkan artinya. Telah kucari artinya tapi tak kutemukan. Sampai seseorang yang menerjemahkanku hingga kata-kata itu terakit menjadi sebuah ungkapan perasaan “yang tak dapat diketahu seseorang”. Aku memang tidak tahu sebab aku belum pernah merasakannya. Bukan hanya itu saja ceritaku, apa kamu pernah merasakan kesegaran air terjun? Jika “ya” dapatkah kamu rasakan itu sekarang saat kamu tahu seseorang akan menanyakanya? Akan dimulai, penjelasan dari awal cerita kebimbanganku.
Aku yang takut akan sesuatu yang lain sedangkan sesuatu itu telah penuh. Untuk apa aku menakutkan apa yang sudah penuh. Aku menulis terus-menerus tanpa henti mulai dari sekarang. Dahaga yang kurasakan hidup di bumi ini, tapi hanya aku rasakan dahaga yang telah ada tapi tidak dapat kurasakan kesegarannya. Kukunyah satu kotak garam padat yang berukuran kurang lebih panjang satu cm, lebar satu cm, dan tinggi satu cm. Aku bertanya kepadamu apa yang kurasakan? Apa jawabanmu? Jawablah sebelum kamu melanjutkannya. Bagaimana kamu tahu rasanya sangat asin sampai lidahku tidak bisa merasakan manis, pahit dan asam. Jika kau tahu rasa garam tersebut asin, karena kamu pernah merasakanya bukan? Lalu jika kamu pernah merasakan kesegaran air terjun yang kau basuhkan pada tubuhmu mengapa kamu tidak dapat merasakannya saat ini. Apakah dingin ? Apakah segar ? Jika iya apa kamu merasakannya dengan inderamu. Cobalah untuk membasuh mukamu dan seperti itulah dan lakukan setiap kali kamu tidak mengingat rasa itu, karena itu yang kulakukan.
Kedua, aku meminum garam dari sebuah gelas. Aku tahu kamu juga mengetahui rasanya. Akan tetapi, kamu tidak mengingat rasanya dalam inderamu bukan? Ya, ini adalah pelajaran yang kudapat dari seorang pejuang yang takkan terbalas jasanya. Garam tadi sangat asin rasanya. Itulah yang terjadi, jika kamu sendiri yang merasakan asinnya hidup. Cobalah untuk mengajak sungai supaya kamu tidak merasakan asin lagi, dan kamu akan tahu betapa sedikitnya perasaan tidak enak yang kamu kira sangat berat.
Sekarang hari Minggu, 28 Agustus 2008. Aku memandang langit biru. Jiwaku seraya terbawa dalam tidurku yang sangat lelap. Wahai lima para malaikat kudus yang bernyanyi di sabana. Yang satu membawa harmonika. Yang kedua membawa seruling bambu. Yang ketiga dan yang keempat membawa perisai. Yang kelima membawa pedang yang lurus mengarah pada ku. Mereka berdiri di atas kelima penjuru mata angin, sambil mengawasi domba-domba. Penjuru mata angin pertama mengarah tepat lurus ke arahku. Aku seperti mendengar nyanyian merdu di padang sunyi warta surga-surgawi. Bertiuplah wahai angin dengan sepoi-sepoi dan kurasakan sekali lagi segarnya, namun kurasakan bukan dengan ingatan seperti apa yang telah kamu lakukan, namun dapat kurasakan dengan panca inderaku.
Apa kamu tahu ada orang yang mengira takdir seseorang telah diatur? Seorang pahlawan mengatakan kepadaku bahwa setiap takdir atau hidup orang sebenarnya diatur oleh diri mereka sendiri, sebab jika sudah diatur oleh yang Kuasa atas Langit dan Bumi, untuk apa memilih takdir mereka dan berusaha. Akan tetapi, di sini aku ingin menyampaikan sesuatu bahwa setiap manusia mempunyai dua pilihan antara dia mengatur dan tidak diatur. Manusia dapat menentukan kapan dia mati,tapi dia juga tidak dapat menentukan kapan dia mati. Sebenarnya jawabannya masih dalam suatu ungkapan yang diterjemahkan seseorang dan kuberitahukan padamu “Amyoudu si, sucihi, chi si maosori”, jawaban yang tidak akan dapat diketahui seseorang. Coba bayangkan ular memakan tubuhnya sendiri mulai dari ekor! Apakah ekornya dapat sampai masuk menuju ekornya jka kamu bayangkan dia tanpa organ pencernaannya, bayangkan andai ular itu kosong.
Kini, harus berakhir apa yang sudah pantas dan selayaknya berakhir. Kudapatkan akhir dari kebimbanganku akan satu tingkat kehidupan , tapi sebelum berakhir aku punya janji yang harus ditepati. Mengapa aku memilih menjadi pengarang, sebab dengan menjadi pengarang kalian bahkan tidak akan pernah tahu pilihanku. Saat kukatakan menjadi pengarang bukankah kalian harus berpikir dua kali apa itu benar cita-citaku atau hanya seolah-olah karanganku saja. Akan tetapi, dengan ini kalian tahu, bahwa terkadang memang ada dua jalan saat kamu memilih yang terbaik, ternyata ada yang lebih baik Rsanya sangat pahit jika kamu rasakan itu tapi seperti kubilang ajaklah sungai untuk ikut, dan lanjutkan pilihanmu seperti pilihan yang telah aku pilih hingga kamu dapat merasakan dengan panca indramu kesegaran air terjun itu.
Perjalanan menuju tingkat kehidupan antara pilihan, kebimbangan, dan kenyataan telah kuutarakan inilah aku yang dapat kalian pandang menurut lima penjuru mata angin, dan dapat memilih satu dari antara mereka.
Seminggu berlalu dengan sangat cepat.Tak kusadari buku harianku yang sudah lama tidak kutulisi dan tidak perlu kutulisi lagi sebab semuanya akan selesai pertanyaanku. Apa yang kucoba selesaikan dalam beberapa minggu telah mencapai omega. Dan kini entah apa yang kulakukan dalam hidupku dan untuk apa aku ada, itulah yang akan kutayakan kepadamu suatu saat dan kamu harus ikut merasakanya pula dilain waktu. Dilain waktu pula harus kutanya kamu siapa aku dan dilain waktu kutanyakan pula apakah kamu mendengar alunan lagu. Sebab jika tidak kamu mendengarnya akan kulanjutkan sampai kamu mendengarnya.
*******************************************


